Oleh: Dr. Titik Sumarti & Dr. Saharuddin
Tujuan jangka panjang adalah membangun kelembagaan ekonomi lokal, yang mampu menyederhanakan pengaruh berbagai kekuatan luar yang menekan sistem pengelolaan kawasan pesisir, secara berkelanjutan. Sedangkan target khusus yang dicapai adalah menjelaskan kompleksitas struktur sosial dan memformulasikan konsep penyederhanaan institusi untuk mendukung pembangunan pertanian kawasan pesisir dan perdesaan nelayan yang berbasis komunitas. Kompleksitas struktur sosial mencakup beragam intervensi yang menciptakan gejala semakin meluasnya ketimpangan sosial dan semakin menurunnya kualitas sumberdaya perairan. Sedangkan penyederhanaan mencakup upaya penyusunan konsep yang mengacu pada pengakuan mekanisme dan peningkatan kemampuan institusi lokal, sehingga intervensi dari organisasi “suprastruktur” dapat diefektifkan.
Penelitian tahap III dilakukan dengan pendekatan kualitatif, data yang akan dijelaskan berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Kuantifikasi data digunakan untuk menjelaskan intensitas perubahan kesejahteraan yang terjadi pada anggota kelompok dimana kelembagaan ekonomi lokal yang adaptif dikaji. Data kuantitatif diperoleh melalui survei terhadap 25 responden anggota kelompok nelayan tangkap dan 25 responden anggota kelompok penggarap tambak. Sedangkan data kualitatif dipakai untuk menjelaskan proses pemberdayaan melalui pengembangan jaringan dan penguatan kelembagaan serta dinamika strategi ekonomi rumah tangga.Data kualitatif akan diperoleh melalui pengamatan dan wawancara mendalam terhadap anggota rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dan sistem kelembagaan yang ada, serta kelompok masyarakat yang menjadi partisipan dalam setiap desain kelembagaan beberapa rumah tangga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Interaksi antara kelembagaan ekonomi lokal dengan kelembagaan intervensi (pasar, pemerintah, LSM) telah memunculkan kelembagaan ekonomi lokal yang adaptif tetapi belum berkeadilan. Ciri adaptif ditandai dengan terdapatnya ciri nilai-nilai dan aturan lokal dalam sistem kelembagaan ekonomi intervensi meski tak memberi arti bagi peningkatan ekonomi nelayan lapisan bawah. Ciri pemberdayaan sebagai proses redistribusi kekuasaan dengan membuka akses seluas-luasnya belum tampak jelas dan berbeda menurut spesifikasi wilayah,
(2) Gejala kemandekan organisasi kelembagaan lokal dalam sistem produksi perikanan tangkap dan perikanan tambak menunjukkan bahwa proses pergeseran ekonomi hanya terjadi pada tataran material, sementara nilai-nilai lama yang bersifat menekan masih terus dipertahankan. Terdapat kekuatiran di kalangan elite lokal bahwa jika sistem kelembagaan lama dirombak, dalam arti bahwa kebebasan mengakses pasar bagi nelayan kecil maupun penggarap tambak diciptakan melalui distribusi modal terhadap petani, maka hal ini akan mengancam kekuasaan mereka pada sektor perikanan. Karena itu koalisi dengan aparat pemrakarsa proyek menjadi strategi utama, sehingga akses nelayan kecil dan nelayan tambak terhadap kelembagaan intervensi dibatasi pada aspek distribusi sumberdaya modal, sementara sisi pemasaran tetap dipegang oleh elite lokal. Pola ini didukung dengan kenyataan bahwa kekuasaan terhadap jaringan pemasaran ikan dan permodalan antar daerah masih dipegang oleh para tauke/pedagang besar. Karena itu model pemberdayaan seharusnya dapat menyentuh hal mendasar yaitu membangun kekuatan nelayan kecil menjadi pesaing bagi para tauke. Hal ini hanya dapat dilakukan jika pemberdayaan masyarakat nelayan kecil tidak bersifat lokalitas semata tetapi lebih berorientasi pasar global,
(3) Pada tipe komunitas nelayan di pantai Timur Sumatera proses pemberdayaan lebih berorientasi pada penumbuhan kesadaran berkelompok dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban, tanpa membuka akses warga pada sistem kelembagaan yang lebih luas. Selama proses pemberdayaan nelayan kecil hanya lebih bersifat pengadaan alat tangkap yang bisa operasional hanya pada sekitar pantai dimana mereka bermukim, maka posisi mereka akan tetap lemah terhadap pemilik modal,
(4) Pada tipe komunitas penggarap tambak di pantai utara Jawa proses pemberdayaan lebih berorientasi pada penguatan jaringan antara bakul menengah, kecil dan penggarap tambak kearah lebih setara, tanpa membuka akses pada kelembagaan pemasaran yang lebih luas (vertikal). Sehingga ketergantungan komunitas petambak terhadap dominasi pemilik modal (pedagang besar) tetap berlangsung,
(5) Kelembagaan ekonomi lokal (patronase) yang dalam banyak hal bersifat mengekang kebebasan bagi nelayan lapisan bawah untuk mengembangkan usaha secara lebih produktif, justru tetap menjadi pilihan di era sistem ekonomi yang semakin terbuka. Bahkan nilai-nilai kelembagaan patronase cenderung diadopsi dalam sistem kelembagaan modern,
(6) Ketidakefektifan kelembagaan ekonomi lokal yang adaptif terjadi karena nilai-nilai kelembagaan patronase cenderung diadopsi dalam sistem kelembagaan modern. Padahal sistem patronase dalam banyak hal justru bersifat mengekang kebebasan bagi nelayan lapisan bawah,
(7) Kelembagaan LEPPM3 maupun Kelopak sebagai sistem kelembagaan intervensi yang berupaya melepaskan nelayan miskin dari ketergantungan terhadap patron justru terperangkap dalam sistem patronase itu sendiri. Hal ini karena skala proyek yang terlalu kecil sehingga tak mampu menembus jaringan sosial yang lebih kuat. Kendati demikian proyek tersebut telah merubah status nelayan maupun penggarap tambak dari tak memiliki alat tangkap (modal) menjadi memiliki alat tangkap (modal usaha). Dengan demikian, operasionalisasi ketiganya tidak lagi tergantung sepenuhnya pada fasilitas patron.
Sumber :
http://pkga.ipb.ac.id/?p=391
Tidak ada komentar:
Posting Komentar